DKPP Vonis KPU-Bawaslu Tasikmalaya Langgar Etik, Aktivis Ingatkan: Jangan Sampai PSU Terulang Lagi

Table of Contents



Targetinfo news

Tasikmalaya — Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap KPU dan Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya kembali membuka luka lama tentang rapuhnya integritas penyelenggaraan pemilu di daerah. Pada Senin (22/9/2025), DKPP resmi membacakan putusan dari dua perkara berbeda: Perkara Nomor 149-PKE-DKPP/V/2025 dan Perkara Nomor 160-PKE-DKPP/VI/2025.

Dalam perkara 149-PKE-DKPP/V/2025, KPU dan Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya dipersoalkan karena meloloskan pasangan calon kepala daerah yang diduga tidak memenuhi syarat. Keputusan ini berujung pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang menelan anggaran negara tidak sedikit. Publik menilai, tindakan tersebut mencerminkan kelalaian fatal dan ketidakcermatan lembaga penyelenggara pemilu dalam menjalankan mandat undang-undang.

Sedangkan dalam perkara 160-PKE-DKPP/VI/2025, DKPP menyoroti kelalaian Ketua dan Anggota Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya yang terbukti tidak menindaklanjuti permohonan sengketa hasil Pilkada. Padahal, kewenangan tersebut merupakan instrumen utama dalam menjaga transparansi dan keadilan. Abainya fungsi pengawasan ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah kelalaian itu murni kesalahan teknis, atau ada faktor lain yang disengaja?

Dalam amar putusannya, DKPP menyatakan sebagian dalil pengadu terbukti. Beberapa anggota Bawaslu dijatuhi sanksi etik, meski tidak semua teradu dikenai hukuman karena sebagian tuduhan dianggap tidak terbukti. Putusan ini kemudian memantik perdebatan sengit di ruang publik.

Pengadu sekaligus aktivis penggiat demokrasi, Dadan Jaenudin, dengan tegas menyuarakan kekecewaannya.

“Saya sangat kecewa dengan putusan ini. Fakta sudah jelas menunjukkan adanya kelalaian serius, terutama ketika Bawaslu tidak menindaklanjuti permohonan sengketa. Itu bukan hal sepele, itu adalah benteng terakhir keadilan dalam pemilu,” ungkap Dadan.

Ia menilai sanksi yang dijatuhkan DKPP terlalu ringan dan tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan, baik dari segi pemborosan anggaran, kebingungan publik, maupun ancaman terhadap stabilitas sosial.

“Saya melihat putusan ini lebih melindungi institusi daripada memberikan keadilan bagi rakyat. Demokrasi tidak boleh dipermainkan. Putusan ini memang final, tapi kekecewaan publik tidak bisa dibungkam. Ke depan, penyelenggara pemilu harus benar-benar bekerja dengan integritas,” tegasnya.

Kekecewaan publik terhadap putusan DKPP ini semakin menambah daftar panjang krisis kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Bagi masyarakat, sanksi etik tanpa konsekuensi hukum yang lebih serius dianggap tidak memberikan efek jera.

Diskusi publik di berbagai ruang, baik media sosial maupun forum masyarakat, mengarah pada satu pertanyaan besar: apakah lembaga pengawas dan penyelenggara pemilu benar-benar independen? Kecurigaan publik bahwa lembaga ini cenderung lebih mementingkan “menyelamatkan wajah institusi” ketimbang menegakkan keadilan semakin menguat.

Putusan DKPP ini tidak hanya berdampak pada reputasi KPU dan Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya, tetapi juga menimbulkan implikasi politik yang lebih luas.

1. Runtuhnya Kepercayaan Pemilih

Publik yang sudah jenuh dengan praktik penyelenggaraan pemilu yang dianggap tidak profesional, kini makin ragu apakah suara mereka benar-benar dihargai. Kondisi ini berpotensi menurunkan partisipasi pemilih dalam pemilu berikutnya.

2. Potensi Konflik Sosial

Ketidakadilan dalam proses pemilu bisa memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. Kekecewaan kelompok yang merasa dirugikan dapat berubah menjadi ketegangan politik lokal yang mengancam stabilitas daerah.

3. Citra Buruk Nasional

Kasus ini tidak hanya berdampak lokal. Bila kasus serupa terus terjadi di berbagai daerah, kepercayaan terhadap demokrasi di tingkat nasional pun akan terkikis. Pada akhirnya, ini bisa memperlemah legitimasi hasil pemilu secara keseluruhan.

Kasus Tasikmalaya menjadi alarm keras bahwa perbaikan sistemik dalam penyelenggaraan pemilu tidak bisa ditunda lagi. Publik menuntut:

Peningkatan kualitas seleksi anggota KPU dan Bawaslu.

Mekanisme pengawasan internal yang lebih ketat.

Sanksi yang lebih tegas, bukan hanya etik, tetapi juga administrasi hingga pidana bila terbukti ada pelanggaran serius.

Transparansi dalam setiap putusan, agar publik tidak merasa putusan hanya formalitas.

Putusan DKPP terhadap KPU dan Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya menjadi cermin rapuhnya integritas demokrasi di daerah. Publik kini menunggu, apakah kasus ini akan menjadi momentum perbaikan, atau sekadar menambah catatan hitam dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Satu hal yang pasti, tanpa reformasi sistemik dan komitmen moral penyelenggara pemilu, demokrasi hanya akan menjadi slogan kosong yang kehilangan makna di mata rakyat.