Koperasi Merah Putih: Janji Ekonomi Rakyat atau Manuver Politik Menuju 2029 " Oleh: Acep Sutrisna, Analis Kebijakan Publik Tasik Utara

Table of Contents


Targetinfo news com

Pada Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program ambisius: Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Dengan target mendirikan 80.000 koperasi di seluruh Indonesia, program ini diklaim sebagai tonggak ekonomi kerakyatan menuju Indonesia Emas 2045. Pemerintah menjanjikan swasembada pangan, pemerataan ekonomi, dan kemandirian desa melalui suntikan dana hingga Rp400 triliun. Namun, di balik narasi mulia ini, muncul kecurigaan: apakah Koperasi Merah Putih benar-benar untuk rakyat, atau sekadar infrastruktur politik untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan menjelang Pemilu 2029?

Koperasi Merah Putih: Janji Besar dengan Anggaran Fantastis

Koperasi Merah Putih diperkenalkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025, yang diteken pada 27 Maret 2025. Program ini menargetkan pembentukan 80.000 koperasi di desa dan kelurahan, masing-masing dengan modal awal Rp5 miliar, sehingga total anggaran mencapai Rp400 triliun. Koperasi ini dirancang sebagai pusat aktivitas ekonomi desa, menyediakan layanan seperti sembako murah, simpan pinjam, klinik, apotek, hingga cold storage untuk hasil pertanian dan perikanan.

Narasi pemerintah jelas: ini adalah gerakan ekonomi berbasis gotong royong, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa koperasi ini akan memutus jerat kemiskinan, rentenir, dan pinjaman online (pinjol) di desa. Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono bahkan lebih optimistis, memproyeksikan dampak ekonomi hingga Rp2.000 triliun dalam dua tahun. Anggaran bersumber dari APBN, APBD, dana desa, hingga pinjaman bank Himbara, dengan skema pelatihan dan pendampingan untuk memastikan tata kelola yang akuntabel.

Sekilas, program ini tampak revolusioner. Desa, yang menyumbang 44% populasi Indonesia, memang punya potensi besar sebagai motor ekonomi. Dengan layanan terpadu, koperasi bisa memperpendek rantai distribusi pangan, menekan harga, dan memberi akses modal murah bagi UMKM desa. Namun, di balik ambisi besar ini, ada celah yang mengundang tanda tanya: apakah program ini murni untuk rakyat, atau ada agenda lain yang terselubung?

Sejarah Koperasi dan Bayang-Bayang Kekuasaan

Untuk memahami Koperasi Merah Putih, kita perlu menengok sejarah koperasi di Indonesia. Koperasi bukan hal baru. Sejak era kolonial, koperasi telah menjadi alat pemberdayaan ekonomi rakyat. Namun, di tangan kekuasaan, koperasi sering kali berubah fungsi menjadi alat politik.

Pada masa Orde Baru, Koperasi Unit Desa (KUD) digagas sebagai tulang punggung ekonomi pedesaan. Namun, KUD justru menjadi contoh kegagalan. Intervensi berlebihan dari pemerintah, ditambah motif pendirian yang lebih mengincar fasilitas negara ketimbang kebutuhan anggota, membuat banyak KUD kolaps. Pengamat koperasi Suroto menyoroti bahwa KUD gagal karena organisasinya dibentuk secara top-down, tanpa otonomi sejati bagi anggota.

Kini, Koperasi Merah Putih tampak mengulang pola serupa. Pendekatan top-down, dengan target ambisius 80.000 koperasi dalam waktu singkat, menimbulkan risiko yang sama. Pemerintah memang menjanjikan pelatihan digital dan pendampingan, tetapi skala proyek ini—dengan anggaran ratusan triliun—mengundang pertanyaan: mampukah pemerintah mengelola program sebesar ini tanpa cela? Atau, seperti KUD di masa lalu, akankah koperasi ini menjadi alat untuk mengonsolidasikan kekuatan politik?

Bau Politik di Balik Janji Ekonomi

Beberapa pihak mulai mencium aroma politik dalam program ini. Sebuah unggahan di X dari @tempodotco menyebut Koperasi Merah Putih sarat agenda politik dan berpotensi maladministrasi. Lainnya, seperti @TVTempoChannel, bahkan menyebut program ini sebagai balas jasa Prabowo kepada kepala desa yang mendukungnya di Pilpres 2024. Tuduhan ini bukan tanpa dasar.

Pertama, waktu peluncuran program ini mencurigakan. Dengan Pemilu 2029 di depan mata, pembentukan 80.000 koperasi di desa-desa bisa menjadi alat mobilisasi politik yang ampuh. Kepala desa, yang berperan strategis dalam mengelola koperasi, bisa dimanfaatkan sebagai agen politik lokal. Jika koperasi berhasil, pemerintah mendapat pujian. Jika gagal, koperasi—bukan pemerintah—yang akan disalahkan.

Kedua, alokasi dana Rp400 triliun menimbulkan risiko elite capture, yaitu penguasaan dana oleh elit lokal atau politikus. Dengan skema pendanaan yang melibatkan APBN, APBD, dan dana desa, potensi penyelewengan tidak bisa diabaikan. Ekonom Nailul Huda dari Celios memperingatkan bahwa APBN 2025 sedang defisit, dengan pendapatan negara hanya mencapai Rp516,1 triliun hingga Maret 2025, sementara belanja sudah Rp620,3 triliun. Dalam kondisi fiskal yang rapuh, alokasi dana sebesar ini untuk proyek yang belum teruji menimbulkan kekhawatiran.

Ketiga, ada indikasi bahwa koperasi ini bisa memperkuat kontrol pemerintah pusat atas desa. Dengan dana desa dialihkan ke koperasi, otonomi desa berisiko terkikis. Jika kepala desa yang mendukung program ini mendapat keuntungan lebih—misalnya akses dana hibah atau insentif—maka koperasi bisa menjadi alat untuk membeli loyalitas politik di tingkat lokal.

Tantangan Nyata: Dari SDM hingga Transparansi

Selain bau politik, Koperasi Merah Putih menghadapi tantangan praktis yang tidak ringan. Pertama, kapasitas sumber daya manusia (SDM). Banyak desa masih kekurangan tenaga terampil untuk mengelola koperasi secara profesional. Pelatihan digital yang dijanjikan pemerintah mungkin membantu, tetapi membangun 80.000 koperasi dalam waktu singkat membutuhkan ribuan pelatih dan pendamping.

Kedua, risiko penyalahgunaan dana. Dengan anggaran Rp5 miliar per koperasi, potensi fraudulent sangat besar, terutama di desa-desa dengan tata kelola lemah. Skema pinjaman dari bank Himbara, meski disertai pendampingan, juga rawan kredit macet, terutama jika koperasi gagal menghasilkan keuntungan.

Ketiga, keberlanjutan program. Koperasi idealnya tumbuh secara bottom-up, berdasarkan kebutuhan anggota. Namun, Koperasi Merah Putih justru dirancang top-down, dengan target dan model bisnis yang ditentukan pemerintah. Jika koperasi gagal memenuhi kebutuhan riil masyarakat, program ini bisa berakhir seperti KUD: megah di awal, ambruk di akhir.

Harapan atau Ilusi?

Meski penuh risiko, Koperasi Merah Putih bukan tanpa potensi. Jika dikelola dengan transparansi dan melibatkan masyarakat secara aktif, koperasi ini bisa menjadi pilar ekonomi desa. Contoh sukses seperti koperasi padi Zen Noh di Jepang atau koperasi susu Frisian Flag di Belanda menunjukkan bahwa koperasi bisa mengubah tata niaga ekonomi.

Namun, untuk mewujudkan itu, pemerintah harus belajar dari kegagalan masa lalu. Koperasi tidak boleh dijadikan alat politik atau proyek sesaat. Otonomi anggota harus diutamakan, dan pengawasan dana harus ketat. Publik juga perlu kritis: jangan terlena dengan janji manis tanpa mempertanyakan motif di baliknya.

 Kesimpulan: Waspada Agenda Tersembunyi

Koperasi Merah Putih adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan harapan untuk ekonomi kerakyatan yang inklusif. Di sisi lain, ia berpotensi menjadi alat konsolidasi politik menjelang Pemilu 2029. Dengan anggaran fantastis dan target ambisius, program ini seperti permainan taruhan besar: berhasil, pemerintah menuai puji; gagal, koperasi yang jadi kambing hitam.

Sebagai rakyat, kita punya hak untuk bertanya: untuk siapa sebenarnya koperasi ini dibuat? Apakah untuk kesejahteraan desa, atau untuk memperkuat jaringan politik penguasa? Satu hal pasti: tanpa transparansi dan partisipasi masyarakat, Koperasi Merah Putih hanya akan jadi monumen megah yang rapuh. Mari kita awasi, kritisi, dan pastikan program ini benar-benar milik rakyat, bukan sekadar manuver politik berbalut janji ekonomi

SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA.

(07/05/2025).


IWAN SINGADINATA.

(KONTRIBUTOR BERITA)

#PUBLIK